Dinner selanjutnya dengan si cowok basket yaitu di resto cepat saji Hoka Hoka Bento deket rumah gue. Gue nggak pernah nyangka bakal ditembak disini. Secara dari April ke Mei adalah waktu yang cukup bentar banget buat kita pedekate. Tapi kalo nggak straight to the point mah bukan dia dong namanya hahaha..
"Kamu mau nggak jadi pacar aku? Tapi aku orang miskin, bukan orang kaya"
Saya orang kaya, saya orang kaya. Saya orang miskin, saya orang miskin.
Saya minta anak, saya minta anak. Namanya siapa? Namanya siapa?
Eaaaaaaa
Tetiba gue ditodong disela-sela makan malem. Kaget, speechless, nggak tau mau jawab apa. Secepat ini?? Gile nggak nyia-nyiain waktu banget ya lo kalo udah yakin wkwk. Ngeliat respon gue yang cuma diem, eh jari kelingking gue ditarik-tarik. "Gimana, mau nggak?"
Adooh ampun lagi mikir jugak, nggak dikasih kesempatan XD. "Mmmm...mmmm" Gue cuma bisa bergumam. Makinlah dia penasaran sama jawaban gue. "Gimana?" Dia terus aja ngedesek pengen tau, sambil terus narik-narikkin jari. Asli speechless banget langsung ditodong gitu.
"Yaudah iya"
Gue jawab sambil masih linglung, dalam hati "yakin nih gue terima dia?". Jadi pacar pertama loh. PERTAMA! Setelah sekian lama jomblo, nolak-nolakkin cowok. Pada akhirnya gue mau buka hati sama cowok yang baru gue kenal hanya dalam waktu 2 bulanan. Waktu yang cukup singkat untuk mengenal seseorang. Tapi kenapa gue mau setelah sekian lama begitu selektif? Apa pemikiran "ah gue mah kayaknya bakalan jadi ama orang asing yang tau-tau ketemu dijalan" itu bener-bener jadi kenyataan?
Gue nggak pernah bilang dia temen gue meskipun kita satu SMA tapi kenyataannya kita juga nggak pernah tau satu sama lain. Itu artinya dia orang asing kan? Orang yang baru 2 bulan ini masuk ke dalam kehidupan gue.
"Yaudah iya"
Gue jawab sambil masih linglung, dalam hati "yakin nih gue terima dia?". Jadi pacar pertama loh. PERTAMA! Setelah sekian lama jomblo, nolak-nolakkin cowok. Pada akhirnya gue mau buka hati sama cowok yang baru gue kenal hanya dalam waktu 2 bulanan. Waktu yang cukup singkat untuk mengenal seseorang. Tapi kenapa gue mau setelah sekian lama begitu selektif? Apa pemikiran "ah gue mah kayaknya bakalan jadi ama orang asing yang tau-tau ketemu dijalan" itu bener-bener jadi kenyataan?
Gue nggak pernah bilang dia temen gue meskipun kita satu SMA tapi kenyataannya kita juga nggak pernah tau satu sama lain. Itu artinya dia orang asing kan? Orang yang baru 2 bulan ini masuk ke dalam kehidupan gue.
Gimana cara Allah mempertemukan kita dengan seseorang yang bikin kita mau bilang "OK" itu sungguh diluar nalar. Gue nggak ngerasa dia perfect, gue juga nggak ngerasa semua yang ada di dia adalah kriteria gue. Normalnya, kalo diliat sesuai apa yang gue suka tonton, baca atau bayangin tentang sosok cowok idaman gue, tentunya gue suka yang cool, kalem, ganteng, tinggi, romantis, manly, baik, perhatian, berwibawa, mengayomi dan yang bisa ngasih gue segala yang gue inginkan. Pokoknya bikin orang yang liat gue gandengan ama ini cowok ngiri dan punya kisah cinta bak fairytale idaman semua gadis haha. Tapi kenapa coba, gue mau aja nerima tangan seseorang yang bahkan belum apa-apa gue udah ditantang duluan "mau nggak nerima aku yang miskin dan bukan orang kaya?"
Ternyata jawaban yang paling make sense bagi gue adalah ketika gue dihadapkan pada realita, bayangan gue akan sosok yang sempurna seperti itu cenderung memudar. I know nobody's perfect dan gue melihat sosok si cowok basket adalah cowok yang paling realistis, yang nggak muluk-muluk, yang mungkin gue butuhin di hidup gue. Secara dari kecil gue selalu berada di zona nyaman, bikin gue terlihat kalem dari luar tapi bisa fragile juga di dalem. Berbeda dengan pengalaman hidupnya yang penuh tantangan sejak kecil yang nggak perlu gue ceritain disini. Hal itu membentuk kepribadian kita yang bertolak belakang tapi bisa saling melengkapi. Di satu sisi gue butuh cowok yang basically strong untuk menghadapi kejamnya tantangan kehidupan dan dia juga butuh pasangan yang lembut dan bisa ngerem sisi emosionalnya dia. Dari sini gue belajar bahwa istilah jodoh adalah cerminan diri itu nggak secara mentah-mentah diartikan sebagai dapet jodoh yang plek 100 persen amat sangat mirip dengan kita haha...
Hal ini kebukti dari naik turunnya hubungan kita selama 2 tahun pacaran. Miskomunikasi, latihan kesabaran dalam menghadapi 2 pribadi yang berbeda dengan 2 dunia yang berbeda, sempet diuji saat LDR, putus nyambung dalam menyamakan visi misi juga prinsip dan pada akhirnya gimana cara kita berdua meyakinkan diri apa iya dia adalah orang yang mau gue jadiin pendamping hidup untuk selamanya? Atau haruskah kita udahin sampai disini sebelum semuanya terlanjur semakin dalem? But thank God, selama proses itu tidak ada kepalsuan akan kepribadian kita masing-masing. Apa yang kita tunjukkan adalah kita yang sebenarnya. Sifatnya yang jujur dan straight to the point itu secara nggak langsung pun nularin gue yang tadinya masih suka jaim. That's why gue bilang mungkin sosok seperti dia yang gue butuhin dalam hidup gue. Karena gue nggak mau hidup halu, ngerasa perfect, bener sendiri, padahal gue juga banyaaaak kurangnya. Ini hubungan yang sangat realistis yang gue pikir worth it untuk diperjuangkan. Dia mengubah perspektif gue dan begitupun sebaliknya.
Gue sadar, kita nggak mungkin bisa mengubah kepribadian orang lain menjadi seperti apa yang kita mau. Tapi sekalipun ada yang harus diubah, itu harus berasal dari keinginan kuat diri sendiri untuk kebaikan bersama. Disini bukan karena ada salah satu pihak yang ingin dinilai sebagai PAHLAWAN bagi pihak lainnya, sehingga dia boleh jadi dominan dalam hubungan ini. That's a big NO! Bagi gue kita berdua harus punya porsi yang sama dalam menyikapi hak dan kewajiban sebagai pasangan. Ini juga jadi salah satu prinsip yang sejak awal kita sepakati bersama. Gue juga bersyukur bisa tetep waras dalam mencari pasangan. Bukan diliat dari sosok seperti apa yang gue inginkan tapi sosok seperti apa yang gue butuhkan. Padahal gue nggak punya pengalaman sama sekali berada dalam sebuah hubungan yang lebih dari teman. Pacaran juga baru sekali kan sama doi. Tapi ya gue bersyukur Allah tunjukkin jalan gue bertemu orang ini di saat yang tepat, disaat kita berdua udah sama-sama matang dan kenyang sama pengalaman masing-masing. Gue juga nggak bisa bayangin apa iya kalo kita ditakdirin untuk ketemu dan kenal dari sejak SMA, saat kita masih childish, semua akan sama seperti ini? I don't think so...
At last but not least, setelah 2 tahun pacaran, kita ngerasa udah siap untuk masuk ke jenjang yang lebih lagi alias menikah. Tantangan yang datang semakin hebat dan semakin menguji. Tapi apa yang udah ditakdirin buat elo nggak akan ada yang bisa menghalangi jalannya. Satu pesen dari gue untuk orang-orang yang masih mencari jodoh, nanti disaat udah terikat dalam komitmen, akan selalu ada badai yang menerjang. Sehebat apapun badainya kelak, bukan badainya yang bisa lo atur-atur, tapi kuatin payungnya supaya bisa melindungi lo untuk tetap terus maju melewatinya. Gimana cara nguatin payungnya? Yang pertama pilih dulu orang yang tepat yang mau diajak kerjasama buat nguatin payungnya. Bukan asal ajak orang buat berada dibawah payung yang sama tapi ternyata dia nggak kooperatif dan kompeten untuk nguatin payungnya dan mengarungi badainya. Bisa-bisa lo lelah memperbaiki sendiri payung lo yang bolong-bolong kena badai, sedangkan dianya nggak peduli hehehe...semangat ya gaes!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar